Ayah Orang Baik
“Ayahmu orang baik,” “ayahmu orang baik,” “ayahmu orang baik,” “ayahmu orang baik.” Ucap teman-teman Ayah sambil menjabat tanganku.
…
“Simbah ki wes gaul, jenenge Ayah nganggo Asmara soale lahir pas valentine,” guyonan itu selalu keluar dari mulutnnya sambil dibarengi gelak tawa. Aku pun ikut terbahak ketika pertama kali mendengarnya sambil mengamini apa yg dikatakan. Maklum, di keluarga kami merayakan Valentine bukanlah kebiasaan, bahkan ulang tahun pun jarang memestakan.
…
14 Februari, tepat hari ini adalah ulang tahun Ayahku. Di hari ini juga tepat 19 hari Ayah sudah pergi ke keabadian. Tak sempat lagi kuucapkan “Selamat ulang tahun, Yah,” atau “Widih tambah tua,” sambil memperlihatkan sedikit senyumanku yg agak kaku.
Sambil tersenyum, tiap kali kuucapkan selamat, Ayah pasti mengucapkan template kalimat yg setiap tahun diulang terus: “Ulang tahun ki ora diselameti, soale umur e soyo kurang.” “Bener juga ya,” dalam hati, aku bergeming. “Lantas, untuk apa orang-orang mengucapkan selamat untuk hari lahir seseorang? Apakah untuk menyambut kematian?” Sampai hari ini pertanyaan itu mengendap di kepalaku, dan belum sempat ku diskusikan dengan Ayah.
Ayah dan diskusi itu adalah dua hal yg tak bisa dipisahkan. Setiap langkah kaki yg diambil pasti berakar dr diskusi. Ayah bukanlah orang yg kolot dan memaksa, kecuali dalam urusan beribadah. Bahkan, dalam pendidikan pun, aku dibebaskan. “Terserah arep sekolah opo, nek Ayah ki bebas, tapi harus tanggung jawab karo pilihane” ucapnya seraya menatap mataku setiap kali kita mendiskusikan soal pendidikanku.
Ayah tdk pernah memaksaku untuk mengambil jurusan ini itu. Menurutnya, semua ilmu itu penting dan berguna, tdk ada yg ilmu yg tdk berguna. “Kabeh ilmu ki bermanfaat, Ayah ndue ilmu kesehatan yo dinggo menolong sesama, Zhafran misal arep jupuk sosial yo kudu bermanfaat,” kata Ayah seraya menyetir mobil.
Menurut Ayah, orang tua hanya bertugas untuk mendukung anaknya, bukan memaksa. Kehidupan anak berbeda dengan orang tua. Anak punya imajinasi dan mimpi-mimpi yg harus dirawat dan dijaga, sedangkan orang tua menjaga anaknya agar mimpi-mimpinya tetap ada.
Apa yang Ayah katakan bukanlah sebuah nasehat layaknya orang tua yg tahu segala hal tentang anak, tetapi sebagai tesis yg bisa saja diubah dan ditambah, bahkan dikurang. Setiap kata yg keluar dari mulut Ayah tdk selalu kumakan mentah-mentah. Setiap wejangan — meski dia tdk pernah suka dengan sebutan itu — yg disertai rasa sayang untuk anaknya tdk selalu kuterima bulat-bulat. Dan, setiap apa yg Ayah lakukan, tdk selalu kutiru layaknya impersonator handal.
Ayah adalah sosok sempurna bagi hidupku. Ayah bukanlah orang yg terilhami orde baru dan memaksa anaknya harus patuh padanya. Terima kasih telah memberikan asuhan yg asooy untukku.
Dan yang terakhir, ceramah Jumat Ayah terakhir sungguh mengejutkanku. Hari itu bertepaan dengan hari kemerdekaan. “Hari ini penjajahan fisik sudah selesai, tetapi penjajahan scr ekonomi belum usai. Para konglomrat dan kapitalis masih menguasai ekonomi kita…,” ucapnya di atas mimbar masjid. Hari terakhir melihat Ayah ceramah, dan hari terakhir juga melihat Ayah melakukan propaganda ahahaa.
…
Selamat jalan Ayah. Ayah orang baik, halaman rumah penuh sesak kala untuk menengokmu terakhir kalinya, mobil-mobil terparkir di sepanjang jalan untuk melepasmu, dan semua menangis mengiringi kepergianmu. Sampai jumpa di rumah yg kini Ayah singgahi, tunggu aku di sana. Dan, kuucapkan terima kasih tak henti-henti.